|
|
status:
semi-hiatus
mood: netral
reading: new ESQ way 165
listening: so simple
watching: curious george |
|
|
.::taggie::. |
|
|
.::HitCo
|
|
|
.::clickie::. |
Rewind
|
|
...::::||::::...
Simple
is nice.
So keep everything simple.
|
|
|
"Saya lebih takut pada 1 wartawan daripada 1000 prajurit." Pernah dengar kan statement itu. Yap, terlontar dari seorang Napoleon. IMHO, memang sih kekuatan media massa itu lebih mengerikan. Para jurnalis atau wartawan menjadi sosok yang keseringan ditakutkan, di lain pihak bisa sangat diharapkan. Selalu ada dua sisi yang berlawanan. Bisa berguna dan bisa membunuh, tergantung keperluan.
Diharapkan, ya bila ada sesuatu yang ingin dibanggain, seperti perlu publikasi even atau untuk jadi populer. So kedatangan wartawan, diwawancarai, ditanya-tanyai sudah tentu jadi pertemuan eksklusif apalagi yang sambil bawa temennya yang punya kamera (baca: wartawan tipi).
Tapi untuk beberapa kalangan dan personal tertentu, wartawan bisa jadi seperti salah satu momok yang mesti dihindari (memangnya ada momok yang mesti dideketi? :p). Lebih baik ga berurusanlah. Pengalamannya, kalau pas dengar: "Pak, saya wartawan dari media blablabla..." langsung deh panik. Bahkan saat melihat alat record disodorkan dekat-dekat, jadi sensi dan tempat duduk serasa banyak pakunya, berharap pengen mbanting tu recorder, ngusir tu kuli tinta, dan pengen ngilang ja rasanya. Apalagi bagi yang emang ada 'nyembunyiin' sesuatu, ya pasti sangat tidak nyaman sekali. Biasanya sih di kalangan birokrat yang bereputasi atau tokoh yang cukup dikenal. Was-was didatangin wartawan, adalah hal lumrah, untung-untung aja wartawannya cuma mo nanyain tips sukses berkarir.
Masalahnya kalau merasa selama ini fine-fine aja, bisa juga merasa kayak gitu, kenapa ya, soalnya mesti waspada juga, ni wartawan ngerti ga maksudnya, atau dia ngoreknya ke arah mana nih, soalnya sering tulisan yang terpublikasi jadi terkesan aneh dan beda dari yang diharapkan. Nah kalo gini sih masalahnya terletak pada alasan klasik the human error, jadi kasihan kan responden atau narasumbernya. Kemampuan personal si wartawan yang notabene "juga manusia", jadi alasan. Salah nangkep maksud, salah denger, salah nyatat, salah ketik, salah cetak dan salah sebagainya. Makanya wartawan yang profesional mesti mengindahkan kode etik dan kemampuan komunikasi lisan tulisan mesti baik.
Teorinya sih, pekerjaan wartawan itu sebenarnya mulia sekali, penyampai amanah, penebar berita, dan pencari fakta idealisnya, namun di alam nyata...
Yang iyanya: Seperti kata siapa ya, kira-kira gini, "Kalau saya sih lebih takut sama prajurit, soalnya 1000 wartawan bisa diatasi dengan 1000 amplop," What a cruel world. Hehe. Yah, walau nyata, namun itu bukan sebuah pukulan rata. Wartawan atau media adalah elemen penting dalam sebuah masyarakat. Bagaimanapun elemen ini sudah menjadi bagian dari hari-hari semua orang. Diperlukan, dipercaya, namun juga harus dikritisi.
Masalah ketakutan yang saya bicarakan di atas, juga bisa berlaku di blog loh. Soalnya kalau lagi blank ide (atau kebanyakan ide?), pastean chat juga bisa jadi bahan empuk sebuah postingan yang terbuka untuk umum. So jaga-jaga hubungan komunikasi yang baik dengan blogger juga mesti. Hie..
Last, kartun ini bener-bener 'lucu'........
Comotan dari IllustrationFriday.com dengan topik: Trouble. Susah untuk mengatakan siapa yang lebih dimaksud kena 'masalah' di sini, si anak atau bapaknya? Tapi kayaknya bapaknya lebih perlu dikasihani........ ahah........stt.
Posted
by me
Wednesday, January 24, 2007
© 2Oo4-2oO7 airinyh inc.
|
|
|
6 Comments:
Cool Blog!
Thanx for your reply to my stuff.
http://macmcrae.com
yang pasti 1000 wartawan hanya takut dengan 1 amplop... kenapa? karena amplopnya nggak ada isinya...
http://fazlurrahman.web.id